Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
Sulthanul Auliya’ Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily berkata: “Barangsiapa yang menginginkan agar syetan tidak mempunyai peluang pada dirinya, hendaknya ia meluruskan iman, tawakkal dan ubudiyahnya, semata karena Allah swt. di atas hamparan kefakiran, dan bersegera serta mohon perlindungan kepada Allah swt”. Allah swt. berfirman: “Sesunggunya syetan itu tidak ada peluang (menggoda) baginya, terhadap orang-orang yang beriman, dan kepada orang-orang yang senantiasa tawakkal kepada Tuhannya.”
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tak ada kekuasaan atas mereka bagimu.” (Al-A’raaf: 198). “Dan jika kamu ditimpa godaan syetan, maka berlindunglah kepada Allah.”
Sedangkan pelurusan iman itu dilakukan melalui syukur terhadap nikmat-nikmat-Nya, sabar terhadap bencana, dan ridha terhadap qadha’. Keabsahan tawakkal dengan jalan menjauhi hawa nafsu, melupakan makhluk, dan bergantung pada Yang Maha Diraja Yang Benar serta melanggenggkan dzikir.
Apabila ada rintangan yang menghalangimu untuk sampai kepada Allah, maka tetaplah dalam keteguhan. Allah swt. berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau sekalian bertemu dengan kelompok (musuh), maka tetaplah kokoh, dan ingatlah kamu sekalian kepada Allah sebanyak-banyaknya, agar kamu sekalian berbahagia.”
Pelurusan ubudiyah melalui pelanggengan kefakiran (kepada Allah), merasa lemah dan hina di hadapan Allah. Lawan ubudiyah adalah Rububiyah, lalu apa fungsi Rububiyah bagimu dan apa yang seharusnya dilakukan bagi Rububiyah? Maka, tetapkanlah sifat-sifatmu dan gantungkanlah dengan sifat-sifat Allah.
Ucapkanlah dari hamparan kefakiran hakiki:“Wahai Yang Maha Kaya, bagi orang fakir selain Dirimu”.
Ucapkanlah dari hamparan kelemahan, “Wahai Yang Maha Kuasa bagi orang yang lemah selain Diri-Mu.”
Ucapkanlah dari hamparan ketakberdayaan, “Wahai Yang Maha Kuat bagi orang yang lemah selain Diri-Mu.”
Sedangkan dari hamparan kehinaan ucapkanlah, “Wahai Dzat Yang Maha Mulia bagi orang yang hina selain Diri-Mu. ”Engkau akan menemukan ijabah, seakan-akan ijabah itu mengikuti tanganmu.
Allah swt. berfirman: “Mohon pertolonganlah kamu sekalian kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Siapa yang menetapi bumi syahwat dan mengikuti selera nafsunya, sementara dirinya tidak ditolong oleh tajalli, dan terjauhkan dari tajalli, maka ubudiahnya pada dua perkara:
Pertama, mengetahui nikmat-nikmat Allah swt. atas karunia yang diberikan-Nya berupa iman dan tauhid. Sebab ketika Allah mencintainya, dan menghiasi hatinya, dan
menjauhkan kontranya berupa kufur, fasik dan maksiat, maka ia mengatakan:
“Tuhanku, Engkau memberi nikmat kepadaku dengan ini… Dan Engkau memberi namaku dengan nama “Rasyid” (yang diberi petunjuk), lantas bagaimana aku bisa berputus asa dari-Mu, sedangkan Engkau menunjukkan diriku melalui karunia-Mu, walaupun aku berbeda? Maka aku sangat berharap agar Engkau menerimaku, walaupun aku ini pengecut.”
Kedua, senantiasa berkomitmen dan membutuhkan (Allah), dan Anda mengucapkan: “Selamatkanlah.. selamatkanlah… dan selamatkanlah diriku.”
Tak ada jalan lain bagi orang yang tidak mampu dan terputus dari ibadah murni, kecuali dua perkara tersebut. Jika dua hal tersebut diabaikan, maka kesengsaraan menjadi miliknya, kejauhan menjadi kelazimannya, dan hanya kepada Allahlah tempat berlindungnya.
Untuk mengkerangkeng syetan itu ada empat:
1. Anda duduk sambil berfikir tentang faktor yang mendekatkan kepada Allah, lalu Anda melakukannya;
2. Anda berfikir tentang faktor yang menjauhkan diri Anda kepada Allah, lalu Anda menjauhi faktor tersebut;
3. Anda duduk berfikir tentang apa (amal) yang telah Anda lakukan, lalu Anda bersyukur dan memohon ampunan;
4. Anda duduk berfikir tentang dosa yang berlalu, lantas Anda memohon ampunan dan bersyukur.
Apabila Anda ingin mengalahkan musuh Anda, maka Anda harus berteguh dengan iman dan tawakkal, ubudiyah yang benar dan memohon perlindungan Allah dari syetan. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan atas mereka bagimu.”
Dan firman-Nya: “Dan jika kamu ditimpa godaan syetan melalui suatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah dari syetan.”
Jadikanlah Allah sebagai Walimu, dan jadikanlah syetan sebagai musuhmu.
“Apakah Anda ingin agar Allah memberikan kekayaan kepadamu, sehingga melalui Anda Allah mengkayakan orang yang dicintai, atau sebagai tawasul, doa dan permohonan?” Saya bertanya, “Bagaimana hal itu bisa pada saya?” Syeikh menjawab, “Janganlah engkau jadikan manusia itu sebagai musuh dan kekasih. Jadikan pada dirimu, Allah sebagai Sang Kekasih.” Saya bertanya, “Bagaimana dengan permusuhan dan kecintaan karena Allah?” Beliau berkata, “Hal itu melalui Allah bukan melalui ubudiah dan catatan. Bila engkau memusuhi atau mencintai mereka, berikanlah hak ilmu itu sendiri, dan janganlah engkau jadikan syetan sebagai walimu.
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa menjadikan syetan sebagai wali, bukan Allah, maka ia benar-benar mendapatkan kerugian nyata.” Jika engkau mencintai melalui ilmu, maka iringilah bersamamu yang selaras dengan ketaatan.
Bila menentang, Anda pun marah dengan ilmu, sepanjang dalam perbedaan. Rahasia batinmu adalah pihak yang duduk di atas hamparan keimanan yang Anda cintai, dan menunaikannya untuk melawan fenomena ilmu.
Maka camkanlah bab ini, karena seringkali orang-orang bodoh tergelincir, karena itu mohonlah perlindungan kepada Allah. Sebab, barangsiapa berusaha dan menegakkan kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt., maka perlawanannya benar-benar sempurna.
#
nazrah Says:
April 1, 2007 at 9:47 am
ASSAB’UL-MATSANI DAN EMPAT WALI KUTUB
Suatu ketika Rasulullah saw. mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”, Allah lalu menurunkan firman-Nya :
” وآتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم ”
Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).
Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasul tenang meninggalkan umat. Apakah Assab’ul-matsani itu? dan apakah al-Qur’an itu? Mungkin semua kita tahu apa itu al-Qur’an, sebuah kitab suci yang mengandung tuntunan-tuntunan Tuhan kepada para hamba-Nya, yang tentunya bila diamalkan dengan baik maka selamatlah kita.
Namun tentunya Qur’an saja tidak akan cukup? Lalu bagaimana dengan Assab’ul-matsani? apakah semua kita mengetahuinya? dan sudahkah kita mengamalkannya atau berpegang kepadanya? Dan mengapa Assab’ul-matsani menempati posisi pertama sebelum al-Qur’an? sedikit tidak itu menunjukkan bahwa Assab’ul-matsani merupakan pegangan yang sangat urgen, yang tanpanya keisalaman seseorang menjadi samar dan diragukan.
Ironinya, para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan firman-Nya “Sab’an minal-matsani”. Ada yang mengatakan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah dengan alasan karena surat Fatihah adalah induknya al-Qur’an dan secara kebetulan jumlah ayatnya pun tujuh ayat.
Ada pula yang menafsirkannya dengan tujuh surat terpanjang dalam al-Qur’an, yaitu: Surat-surat Baqarah, Ali Imran. Annisa’, al-Ma’idah, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal (bersama Attaubah).
Ada yang berpendapat bahwa Assab’ul-matsani adalah al-Qur’an itu sendiri.
Dan masih banyak lagi penafsiran lain tentang apa itu Assab’ul-matsani. Sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang; kapan malam Lailatul-qadr, apa itu Ism a’zam, apa itu Shalat wustha, kapan waktunya Sa’atul-ijabah, siapa itu wali Allah, apa itu Kaba’ir, dan lain sebagainya. Agaknya para ulama’ memang tak pernah lepas dari perbedaan. Apapun sebabnya, kita tetap meyakini adanya hikmah yang tersirat. Dan apapun faktanya, kita tetap harus mencari yang benar lalu menerimanya dan juga membelanya. Yang salah, kita maafkan bersama, mungkin saja bukan rizki mereka. Yang berijtihad dengan baik dan benar, tetap akan dapat pahala. Sementara mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai alat penafsir utama, tanpa landasan ilahi yang bisa diterima “Wa man lam yaj’alillahu lahu nuran fama lahu min nur”, maka laknat sudah menyelimuti mereka. Belum mendapat nur dan restu dari Allah, sudah seenak-enaknya menafsirkan firman Allah.
Bila kita teliti dengan seksama, kita akan melihat sejumlah penafsiran di atas ternyata belum mampu memberikan sebuah kepuasan, sebab walau tampak berbeda namun sebetulnya sama dan tak berbeda, semuanya menisbatkan Assab’ul-matsani itu kepada al-Qur’an itu sendiri, baik itu surat Fatihah, tujuh surat terpanjang maupun yang lainnya, semua itu adalah al-Qur’an (bagian dari al-Qur’an). Sebuah tanda tanya yang harus terungkap adalah: Bukankah Allah swt. telah menyebutkan “Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung”? bila Allah telah menyebut al-Qur’an setelah Assab’ul-matsani maka sudah tentu Assab’ul-matsani adalah perkara lain selain al-Qur’an. Tidakkah kita menyadari hal itu?
Bila Assab’ul-matsani adalah surat Fatihah, bukankah surat Fatihah merupakan bagian dari al-Qur’an itu sendiri? bukankah Allah telah menyebut al-Qur’an sesudahnya “wal-Qur’an al-azim”? yang mana surat Fatihah sudah terkandung di dalamnya? Ataukah surat Fatihah itu bukan bagian dari al-Qur’an?
Apabila Assab’ul-matsani itu adalah al-Qur’an atau sebagian dari isi al-Qur’an, tidakkah cukup Allah mengatakan: Aku telah memberimu al-Qur’an (saja, tanpa menyebut Assab’ul-matsani)? bukankah al-Qur’an telah mencakup semua surat-suratnya termasuk Fatihah dan tujuh surat terpanjang?
Lalu mengapa Assab’ul-matsani disebutkan oleh Allah? Walhasil, Assab’ul-matsani adalah perakra lain selain al-Qur’an. Bukan al-Qur’an, bukan pula beberapa surat atau ayatnya. Kalau anda masih bersikeras mengatakan Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah, maka anda telah berani memisahkannya dari al-Qur’an! dan anda telah menodai kemukjizatan firman-Nya yang terlepas dari segala kecacatan, bahasa dan sastranya.
“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat).
Kelompok-kelompok itu amat banyak, namun Allah hanya menyebutkan / mengutus tujuh kelompok saja dari kelompok-kelompok itu (sebagai pemimpin matsani yang lain) “Sab’an minal-matsani”; Tujuh kelompok dari kelompok-kelompok al-Matsani.
Tujuh kelompok itulah yang disebut dan dimaksud dengan Assab’ul-matsani, yang mana setiap kelompok terdiri dari empat orang.
Tujuh kelompok itulah yang bertugas melayani Rasul dan umat sejak awal penciptaan sampai kiamat menjelang.
Tujuh kelompok itulah yang akan menunjuki umat ke jalan yang benar.
Tujuh kelompok itulah yang akan membimbing umat dalam mengamalkan al-Qur’an.
Tujuh kelompok itulah yang akan meneruskan dan mewarisi perjuangan Rasul saw.
Tujuh kelompok itulah yang akan melayani sandal Rasul saw. demi menjunjung tinggi siyadah beliau.
Tujuh kelompok itulah yang bila diikuti, dipegang dan ditaati umat maka selamatlah mereka dari kesesatan.
Tujuh kelompok itulah pelayan-pelayan Rasul dan umat sampai hari kiamat (maupun sesudahnya).
Allah berfirman: “Wa atainaka sab’an minal-matsani wal-Qur’anal-azim”; Aku telah mengutus demi kamu hai Muhammad tujuh kelompok matsani yang akan melayanimu dan melayani umatmu, Akupun telah menurunkan al-Qur’an agar menjadi pegangan kedua bagi umatmu.
Mengapa al-Qur’an dinomorduakan oleh Allah swt.? Jawabannya adalah karena seorang penunjuk lebih diutamakan dari pada sebuah buku petunjuk. Allah swt. berfirman:
” قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين ”
Telah datang kepadamu: (1) seorang Rasul, dan (2) al-Qur’an. Maka Rasul itu lebih penting dari pada al-Qur’an, sebab al-Qur’an (buku petunjuk) tidak akan difahami dengan benar tanpa Rasul (seorang penunjuk).
Allah swt. juga berfirman:
” فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون ”
Orang-orang yang beruntung adalah apabila mereka: (1) beriman kepada Nabi Muhammad, (2) memuliakannya (3) membelanya, kemudian (4) mengikuti kitab suci yang dibawanya. Maka haruslah kita mencari seorang penunjuk, kemudian mencintainya, menghormatinya, membelanya, mengagung-agungkannya dan mentaatinya, setelah itu barulah kita mengikuti buku petunjuk yang ia bawa.
Dari itulah Allah swt. mendahulukan Assab’ul-matsani sebelum al-Qur’an. Bukan karena al-Qur’an itu tidak penting, melainkan karena tanpa seorang penerang dan penunjuk maka al-Qur’an tak dapat difahami dengan benar dan tak dapat diamalkan dengan baik.
Lalu… siapakah Assab’ul-matsani itu? siapa saja kelompok-kelompok itu?
Maulana Syekh Mukhtar ra. menyebutkan bahwasanya tujuh kelompok (Assab’ul-matsani) tersebut adalah sebagai berikut :
1. Empat pemimpin para mala’ikat Kurubiyyin / Alin / Haffin hawlal-arsy.
2. Empat pemimpin para mala’ikat Falakiyyin : Jibril, Mika’il, Israfil dan Izra’il Alaihimussalam.
3. Empat pemimpin para nabi dan rasul yang disebut dengan Ulul-azmi : Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimussalam.
4. Empat Pemimpin para sahabat Rasul yang disebut dengan Khulafa’ rasyidin : Saidina Abu Bakr, Saidina Umar bin Khaththab, Saidina Utsman bin Affan dan Saidina Ali bin Abi Thalib Radliallahu anhum ajma’in.
5. Empat pemimpin para penulis wahyu (al-Qur’an) yang disebut dengan al-Abadilah / Abadilatul-Qur’an : Saidina Abdullah bin Umar, Saidina Abdullah bin Azzubair, Saidina Abdullah bin Mas’ud dan Sadina Abdullah bin Abbas Radliallahu anhum ajma’in.
6. Empat pemimpin para imam syari’at (mazhab fiqh) yang disebut dengan al-A’immah al-Arba’ah / A’immatul-mazahibil-arba’ah : Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal Radliallahu anhum ajma’in.
7. Empat pemimpin para imam tarekat (tasawuf), pemimpin para auliya’ullah yang disebut dengan al-Aqthab al-Arba’ah (empat wali kutub) / A’immatuththariqah wal-haqiqah : Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani, Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi Radliallahu anhum ajma’in.
Tujuh kelompok di atas-lah Assab’ul-matsani itu, yang memimpin semua matsani yang lain, yang semuanya berjumlah 28 orang sebanyak huruf-huruf dalam bahasa arab.
Ketujuh kelompok itu dipimpin oleh tiga penguasa tertinggi yaitu: Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radliallahu anhum.
Allah swt. berfirman: “Ha Mim, Ain Sin Qaf”. Ha Mim telah diulang dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali yang mana hal tersebut mengisyaratkan kepada Assab’ul-matsani di atas, sedangkan Ain Sin Qaf hanya disebut satu kali saja dalam al-Qur’an, yang mana ketiga huruf itu mengisyaratkan kepada tiga pemimpin Assab’ul-matsani (Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radiallahu anhum ajma’in).
Sementara pemimpin tertinggi (Ra’is Akbar) yang mengepalai dan mengasuh mereka semua adalah: Rasulullah wa Habibullah Sayyiduna wa Maulana Muhamamd Shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya :
” اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم ”
Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau karuniai nikmat. Mereka itulah Assba’ul-matsani, sebagaimana firman Allah :
” الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا ”
Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah sebaik-baik teman. Mereka itulah Assab’ul-matsani.
Di antara makna lain dari kata Matsani adalah : bentuk jama’ dari Matsniyyah yang artinya: besi yang dibengkokkan. Itu mengisyaratkan bahwa Assab’ul-matsani adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang telah sampai kepada Allah swt. lalu dikembalikan oleh-Nya ke bumi untuk membimbing umat kepada-Nya.
Kata Matsani juga berasal kata dari Tsana’ yang artinya pujian, tentunya tujuh kelompok di atas telah mendapat pujian suci dari Tuhan mereka, Allah Subhanahu wata’ala.
Di antara tujuh kelompok di atas, nampaknya kelompok terakhir-lah yang cukup asing bagi umat. Para mala’ikat kurubyyin, mala’ikat falakiyyin, nabi ulul-azmi, khulafa’ rasyidin, empat abadilah dan imam mazhab empat… sudah cukup populer. Sedangkan empat wali kutub tertinggi yang mengepalai semua auliya’ Allah di muka bumi ini dan mengimami tarekat dan hakekat sampai muncul Imam al-Mahdi, tidak begitu banyak diketahui atau dikenal orang. Mungkin saja karena salah satu ciri khas para wali adalah: tersembunyi. Namun walau demikian mereka cukup masyhur di kalangan orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk Allah, yakni mereka para pecinta tasawuf dan pengikut tarekat. Mereka adalah pecinta Rasul dan Ahlul-bait.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis ingin mengutip perkataan Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra. dalam kitabnya Qiladatul-Jawahir yang berbunyi sebagai berikut :
قد اشتهر في المشرق والمغرب بين المسلمين شأن الأربعة الأقطاب المعظمين، أعني شيخنا ومفزعنا السيد أحمد الكبير الحسيني الرفاعي، وسيدنا السيد الشيخ عبد القادر الجيلاني الحسني، وسيدنا السيد الشيخ أحمد البدوي الحسيني، وسيدنا السيد الشيخ إبراهيم الدسوقي الحسيني . فهؤلاء الأربعة بلا ريب خلاصة بقية السلف، وأئمة جميع الخلف، وأعلام الأولياء، وأولياء الصلحاء، وأشياخ الخرقة والطريقة، وأقطاب الطريقة والحقيقة . ثبتت لدى المسلمين غوثيتهم وولايتهم، ووجبت عند الموحدين حرمتهم ورعايتهم، وهم رضي الله عنهم بمنزلة واحدة في النسب والمرتبة، إلا أن الأقوال تنوعت فيهم وفي مشاربهم وأحوالهم ومذاهبهم، وقد وفق الله لكل واحد منهم من أتباعه من جمع آثاره وذكر أخلاقه وأطواره
Beliau juga telah membuat sebuah nazam (sya’ir) tentang empat wali kutub, bunyinya :
والأوليا اذكرهم بخير أنهم # تبعوا الرسول بصحبة الآدابِ
خدموا شريعته وما اتبعوا الهوى # متمسكين بأشرف الأسبابِ
صحت ولايتهم بشاهد حالهم # فعلوا وصاروا وجهة الطلابِ
لهم الكرامات التي ظهرت بنا # كالشمس ما حجبت ببرد سحابِ
شهدت بها مذ شوهدت أهل الملا # وهي اختصاص الواهب السلابِ
ظهروا ببرهان الرسول تسلسلا # حتى لعهد الأربع الأقطابِ
ابن الرفاعي ثم عبد القادر الـ # ـجبلي وإبراهيم والعطابِ
قال الرفاعيون أحمد شيخنا # سلك الطريق بدق أنجح بابِ
ورأى الخضوع طريقة وحقيقة # تقضي بترك الزهور والإعجابِ
وسرى على سنن الحبيب ملازما # أحواله في السلب والإيجابِ
فلذاك قدمناه تقديما به # قام الدليل لنا بلا إسهابِ
والقادرية ثم فرقة أحمد آل # بدوي كل قال ذاك جوابِي
وكذاك أتباع الدسوقي ثم من # ينمى لغير طريقة ورحابِ
جزموا بصدق الأتباع لشيخهم # فراوه أعلا الأوليا الأنجابِ
فإذا توضحت الحقائق للذي # يدري بغير مسائل وجوابِ
ما كان من قول وفعل وارد # عن شيخ إرشاد رفيع جنابِ
زنه بميزان الشريعة واعتمد # في الأمر نص المصطفى الأوابِ
واعمل لحسن الظن بالتأويل في # ما دق من شطح لسد البابِ
وإذا نأى التأويل فانكر نسبة الـ # ـمنقول واحفظ حرمة الأحبابِ
واسلك طريق الهاشمي محمد # فسواه مردود بكل كتابِ
صلى عليه الله ما لمع الضحى # والآل والأزواج والأصحابِ
Masing-masing dari empat wali kutub itu mendirikan sebuah tarekat ra’isi (induk) yang memimpin semua tarekat sufi yang lain, Syekh Ahmad Arrifa’i ra. mendirikan Tarekat Rifa’iah, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani ra. mendirikan Tarekat Qadiriah, Syekh Ahmad al-Badawi ra. mendirikan Tarekat Ahmadiah, dan Syekh Ibrahim Addusuqi ra. mendirikan Tarekat Burhamiah. Empat tarekat sufi tersebut lahir dari dua tarekat ibu-bapak yakni Tarekat Naqsyabandiah dan Tarekat Khalwatiah. Kedua tarekat ibu-bapak itu bersumber dari Saidina Abu Bakr ra. dan Saidina Ali ra. yang kemudian digabung oleh Imam al-Junaid ra. lalu bercabang lagi menjadi empat tarekat induk yang dipimpin oleh empat wali kutub. Pada zaman sekarang ini semua tarekat sufi yang ada mesti melalui salah satu dari empat wali kutub atau semuanya dalam silsilah terekat masing-masing, kalau tidak, maka tarekat tersebut masih diragukan keabsahannya.
Untuk mengenal lebih jauh empat wali kutub masyhur di atas maka pembaca boleh menelaah kitab-kitab di bawah ini :
1. Qiladatul-Jawahir fi Dzikril-Gautsirrifa’i wa Atba’ihil-Akabir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra.
2. Al-Ayatuzzahirah fi Manaqibil-Auliya’ wal-Aqthabil-Arba’ah oleh Syekh Mahmud al-Ghirbawi.
3. Farhatul-Ahbab fi Akhbaril-Arba’atil-Aqthab oleh Syekh Muhammad bin Hasan al-Khalidi ra.
4. dan lain-lain.
Berbicara so’al tugas para wali kutub tertinggi itu, kita dapat melihat peran-peran para imam mazhab yang empat dalam membimbing umat dalam hal syari’at. Oleh karena islam terdiri dari tiga martabat; islam, iman dan ihsan, maka para imam mazhab bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah urusan syari’at umat (islam) yang kemudian para wali kutub bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah perjalanan spiritual / tarekat umat (iman), yang akhirnya dengan kemantapan dua martabat itu hamba dengan mudah mencapai hakekat (ihsan). Syari’at dan tarekat tidaklah berbeda atau saling bertentangan, melainkan ia merupakan tangga-tangga yang harus dilalui oleh setiap hamba secara bertahap demi meraih derajat yang mulia di sisi Allah dan demi sebuah kesempurnaan dalam pengabdian kepada-Nya (kamalul-iman). Keislaman seseorang tentu menjadi tidak sempurna bila dijalani tanpa dua asas tersebut. Bermazhab untuk kesempurnaan zahir dan bertarekat untuk kesempurnaan batin.
Sebagaimana seorang hamba layaknya bermazhab (bermazhabkan salah satu dari mazhab fiqh yang empat), maka di sisi lain ia juga mesti bertarekat, dengan mengikuti / menganut salah satu tarekat dari empat tarekat sufi di atas. Atau mengikuti tarekat lain yang menjadi cabang dari salah satu tarekat induk tersebut.
Bila keluar dari mazhab yang empat dalam bersyari’at, dan keluar dari tarekat induk yang empat dalam bertarekat, maka tidak akan diterima oleh-Nya. Pintu ijtihad mutlak sudah tertutup, dan izin untuk mendirikan tarekat (induk) sudah berakhir.
Apakah Rasul pernah bermazhab? Apakah Rasul pernah bertarekat? Tentu tidak, sebab beliau merupakan sumber dan asal semua mazhab dan tarekat yang ada. Tidaklah mungkin seorang Rasul menganut mazhab muridnya, tidaklah mungkin beliau mengikuti tarekat pewarisnya. Justru para imam dan wali kutub-lah yang mengikuti beliau dan melalui tuntunan dan restu beliaulah mereka membuat mazhab dan tarekat agar diikuti oleh umat sesudahnya.
Dari itu penulis menasehati mereka yang mengatakan; Tidak ada mazhab dalam islam. Ketahuilah bahwa empat mazhab dan empat tarekat itu telah direstui dan diutus oleh Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu kala demi kemudahan umat dalam menjalankan syari’at-Nya. Tanpa mereka, semuanya tidak akan pernah stabil. Ingin membuat mazhab sendiri atau tarekat sendiri, ingin menjalankan syari’at islam tanpa melalui mereka, ingin bersuluk menuju Allah tenpa melalui jalan mereka, ingin kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah tanpa melalui hasil ijtihad mereka, maka dijamin tidak akan menghasilkan buah yang memuaskan. Bukankah kita sendiri yang selalu berdo’a; “Ihdinashshirathal-mustaqim, shirathalladzina an’amta alaihim” Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang Engkau karuniai nikmat (para nabi, para rasul, para sahabat, para imam mazhab dan para wali kutub)?
Sebagaimana Rasul telah mengutus Saidina Mu’az bin Jabal ra. ke Yaman sebagai makan (tempat) untuk menjadi penunjuk jalan / membawa hidayah, maka beliau-pun mengutus seorang hadi (penunjuk jalan) pada setiap zaman (waktu) sesuadah beliau wafat? agar umat beliau dapat menemukan hidayah-Nya… kapanpun, dan dimanapun.
Allah berfirman:
” من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا ”
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu hai Muhammad tak akan mampu mempertemukannya dengan seorang wali mursyid (seorang penunjuk).
Tanpa seorang wali mursyid maka tenggelamlah hamba dalam lautan kesesatan. Qur’an dan Sunnah tidak akan pernah cukup tanpa seorang wali mursyid yang akan menuntun dan membimbing. Melalui restu dan petunjuk Allah maka Rasul-pun segera mempertemukan kita dengan wali mursyid yang menjadi pewarisnya, semoga Allah memberi hidayah kepada kita… amin.
Dengan niat yang suci, hati yang bersih dari segala sifat sombong dan angkuh, serta cinta yang mendalam kepada Rasul dan para auliya’ maka perjalanan menuju wali mursyid tidaklah jauh, sehingga hidayah Allah dapat kita nikmati dengan penuh ria.
Setelah empat wali kutub itu mendirikan tarekat induk masing-masing dan menanam bibit-bibit hidayah dan mahabbah dalam hati para pengikut setia, maka ajal-pun tak lupa menjemput mereka ke Rafiq A’la, yang kemudian muncullah para penerus-penerus sejati yang akan terus membimbing umat ke jalan-Nya, jalan penuh reda dan cinta. Para penerus sejati itulah para imam mujaddid setiap zaman, mereka adalah Auliya’ Mursyidun dan Ulama’ yang menjadi pewaris-pewaris Rasul, yang amat takut kepada Allah dan tahu rahasia-rahasia asma’ Allah.
Akhir kata… Disamping mengikuti tuntunan Qur’an dan Sunnah, semoga kita tidak lupa pula mengikuti dan berpegang teguh kepada Assab’ul-matsani (beserta para penerus) yang telah diutus oleh-Nya. Semoga kita tetap berlindung di bawah naungan mereka, agar selamat dari dunia sampai akhir masa… amin.
Mengikuti mereka adalah merupakan tuntutan Allah dalam Qur’an-Nya kepada kita, dan juga merupakan seruan Rasul dalam haditsnya “Udldlu alaiha binnawajiz”. Mereka adalah utusan-utusan-Nya, mereka adalah kekasih-kekasih-Nya, mereka adalah prantara-prantara kita menuju-Nya, mereka adalah pewaris-pewaris Rasul-Nya, dan mereka adalah para pembaharu dan imam masa.
Inilah suguhan ilmu para Auliya’-Nya…. yang diraih langsung dari-Nya… Subhanahu wa t’ala. Percaya atau tidak, diterima atau tidak, Allah telah berfirman :
” وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ”
Katakanlah yang benar, yang telah kamu terima dari Tuhanmu. Selanjutnya………………………………… terserah mereka!
Referensi :
1. Pengajian-pengajian Maulana Syekh Mukhtar ra. (Syekh Tarekat Burhamiah)
2. Kitab Tabri’atuzzimmah oleh Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra.
3. Kitab Qiladatul-Jawahir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi al-Khalidi Arrifa’i ra.
4. Dan lain-lain.
sumber: http://www.aziznawadi.co.nr
#
abu hasan Says:
Juli 8, 2008 at 1:48 am
bos… tasawuf itu apakah berasal dari ISLAM? ana bingung banget nih, kalo tu tasawuf berasal dari islam tentu disinggung di Al-Qur’an dan Hadits Nabi. kok, itu, secuil juga gak ada tuh, bahasan mengenai tasawuf. malah, yang pernah ana baca karya ihsani ilahi dhahir (darah hitam tasawuf & Sejarah Hitam Tasawuf) atau Syaikh Muhammad Jamil Zainu (taubat dari Tarekat Sufi) kata mereka dibukunya tersebut: Tasawuf itu bukan berasal dari Islam, tapi itu adalah cara beribadah dari orang yunani, atau orang hindu, atau budha yan kemudian diwarnai dengan bumbu islami. terbukti dari suluk mereka yang memmiliki ciri ghuluw dalam berbagai segi misal zuhud mereka dengan enggan memakan makanan yang lezat atau berpakaian bagus (padahal Rasulullah SAW menyukainya), dll. oya bos hadits di atas dikutip dikitab hadits mana? kok nggak dikenal dikitab ahlus sunnah? terus antum jug kok bikin penafsiran sendiri yang yang seperti kata antum: “Sementara mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai alat penafsir utama, tanpa landasan ilahi yang bisa diterima “Wa man lam yaj’alillahu lahu nuran fama lahu min nur”, maka laknat sudah menyelimuti mereka. Belum mendapat nur dan restu dari Allah, sudah seenak-enaknya menafsirkan firman Allah.”
inilah yang maksud oleh Rasulullah SAW, sebagai “Bid’ah”, nggak ada asal muasalnya dari perbuatan dan perintah atau contohnya dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW, “Man ‘Amila ‘Amalan Laisa ‘alaihi Amruna Fahuwa Raddun”
Saudaraku marilah kita mencukupkan diri untuk beragama, beribadah dan beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, tinggalkanlah yang datang selain darinya. karena sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul adalah sesat. afwan ini hanya terdorong dari keinginan bertawashawbilhaq. hidayah hanya milik ALLAH bagi siapa saja yang mau meraihnya
#
abdullah bin ali Says:
November 30, 2008 at 1:25 am
Salam buat semua muslimin sekelian, pelayar maya ini. Moga sejahtera berpanjangan sehingga bertemu dengan mati (keyakinan hakiki).
Pertemuan dengan Allah memerlukan bekalan yang banyak lagi suci. Kesucian ini memerlukan proses disiplin mujahadah yang tinggi.
Islam boleh dimiliki oleh ramai manusia. Tapi iman belum tentu dapat sepenuhnya, kerana disana ada proses yang ketat perlu dilalui oleh setiap individu.
Hati yang bercahaya berlainan dengan hati yang kelam. Proses pencahayaan ini dinamakan tasawuf. Wujud tasawuf bagi mencapai kemanisan keimanan seseorang.
Oleh yang demikian, bagi ahli nafsu atau ahli dunia beribadat kepada Allah adalah suatu penyeksaan.
Perjalanan kepada Allah terlalu seni dan halus. Penuh adab dan proses akhlak terpuji. Barangsiapa mengecapi tidak mampu diterjemah dengan kata-kata dan perbuatan lagi.
Ia bukan lagi ilusi, tapi sudah jadi realiti. Pertemuan dengan Allah kemuncak kasih sayangnya. Orang-orang sedemikian kasih kepada mati mengatasi kasih kepada hidup, sebagaimana diburu oleh manusia hari ini.
#
hina kelana Says:
Desember 31, 2008 at 1:36 pm
Assalamu’alaikum Wr,Wb
Allah memberkati kita semuanya dalam Rahmat Kasih dan Sayangnya……..
Jika tidak ada Rahmat-Nya maka tidak lah kita berkumpul di Pondok ini untuk saling mencari pengetahuan Ilmu di dalam Ilmu Allah Ta’ala yang tiada batasnya….
Sungguh…… kesadaran itu sangat….sangat…sangat lah utama sekali di dalam kehidupan ini….
Tanpa kesadaran maka bagaimana mungkin taubat seseorang bisa diterima?
Tanpa kesadaran maka bagaimana mungkin Amal Ibadah bisa sampai kepada yang Allah?
Tanpa kesadaran maka manusia itu akan terombang ambing oleh kebingungan dan kegelisahan di jiwanya…….
Saudaraku……… Sahabatku……….Kawanku……….
ketahuilah oleh kita semua….., bahwa Allah Swt itu sangatlah nyata senyatanya….. dengan apa kita melihat Allah itu nyata?
yaitu melali kenyataan yang sudah dinyatakan-Nya atas kita berupa kenikmatan.
Ketahuilah bahwa apa saja yang ada pada diri kita semuanya itu adalah nikmat Allah. DAri ujung rambut sampai ujung kaki, Zahir maupun BAtin, Ruh dan Jasad, luar maupun dalam, atas maupun bawah, kanan dan kiri, muka dan belakang semuanya adalah Nikmat Allah Swt. Meliputi bulu, kulit, darah, daging, tulang, otak, sum2, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengrasa, nyawa, jalal, jamal,qohar dan kamal segalanya tidak ada yang ada selain Nikmat Allah yang menunjukkan Allah Swt sangat….sangat…sangat…. dekat sekali dengan diri kita.
Jika kesadaran itu tertanam pada relung jiwa yang paling dalam bahwa apa saja yang ada pada diri kita ini senantiasa di liputi oleh Allah dengan dinyatakan-Nya melalui Nikmat-nikmat-Nya tadi maka kemudian sadarilah lagi bahwa setiap waktu bahkan setiap detik pun dari buka matasampai tutup mata kembali 24 jam sehari semalam tidak ada yang ada melainkan semuanya senantiasa dalam rahmat dan Kasih Sayang Allah.
Itulah yang membuktikan bahwa Allah itu senantiasa memperhatikan Hamba-Nya…….
Siapakah yang mengatur Jantung sehingga berdetak?
Siapakah yang mengatur nafas sehingga bisa naik dan turun?
Siapakah yang mengatur darah sehingga mengalir keseluruh Tubuh?
Siapakah yang mengatur kedipan Mata sehingga senantiasa berkedip?
semuanya itu Allah lah sang Maha Pengatur….. Allah lah sang Maha Pemelihara….. yang senantiasa mengawasi akan Hamba-Nya
Jika kesadaran itu telah melekat pada diri sebagaimana yang sudah di paparkan oleh Tuhan disini melalu diri Pengembara Jiwa yang hina dan fakir ini, maka itulah yang dikatakan mereka yang senantiasa ingat akan Allah baik dalam keadaan berdiri, berduduk, maupun berbaring, bahkan bukan hanya itu saja… mereka itu senantiasa ingat kepada Allah baik dari buka mata sampai tutup mata kembali setiap waktu setiap detik 24 jam sehari semalam baik di sadari maupun tak disadari baik diketahui maupun tidak di ketahui dirasakan maupun tidak dirasakan…. kuncinya ada pada “KESADARAN”. karena kesadaran itulah yang akan merubah seseorang menjadi baik dan terlebih baik lagi. dan itulah sebenar2nya Zikir Khofi/Sir yaitu Ingat Allah secara sirr/Rahasia/Halus yaitu ingat kepada Allah dengan tumbuhnya kesadaran jiwa. Bahwa tidak ada yang ada pada diri semuanya adalah Nikmat Allah sebagai bukti nyata, bahwa Allah meliputi diri. Wa Fii Anfusikum Afala Tub’siruun (Dan Pada diri kamu…….. mengapa engkau tidak memperhatikannya)
Dan kesadaran itulah yang akan membawa dirinya menjadi semakin dekat dan cinta kepada Allah yang senatiasa memperhatikannya di setiap waktunya.
Bergembiralah bersama Allah melalui Nikmat-Nya yang ada padamu…………
Tersenyumlah selalu bersama Allah melalui Rahmat Kasih Sayang-Nya yang meliputi dirimu disetiap waktu….
Hanya mereka yang tumbuh kesadaran demikian lah yang akan selalu tersenyum dan bahagia…. dan tentunya tidak ada lagi rasa kehawatiran dan ketakutan…, dikarenakan ia sadar sesadar sadaranya bahwa Allah beserta ia diamanpun ia berada.
Hanya mereka yang tumbuh kesadaran demikian lah yang akan selalu gembira dan bersyukur…. dan tentunya tidak ada lagi rasa duka dan sedih…, dikarenakan ia sadar sesadar sadarnya bahwa Rahmat Kasih SAyang Allah senantiasa meliputi dirinya di setiap waktu dari buka mata sampai tutup mata kembali 24 jam sehari semalam baik dalam keadaan jaga maupun tidur, berdiri, duduk , berbaring.
Wahai saudaraku……Sahabatku…..Kawanku…..
Pahamilah…… dan renungkanlah serta sadarilah…..apa yang PJ uraikan ini, karena sesungguhnya bukanlah PJ yang mengutarakan karena si PJ ini tiada daya tiada upaya fakir dan hina juga tidak ada memiliki ilmu. Semua yang telah di paparkan di sini itu semua datang dari pada Allah Swt kepada kita semuanya… karena Kasih Sayang-Nya kepada Kita.
Subhanallah…..Subhanallah….Subhanallahil ‘Adziiim
Laa Hawlaa Wa Laa Quwwata Illa Billa hil ‘Aliyyil ‘Adziiim.
Allah memberkati kita semua di dalam Rahmat Kasih dan Sayang-Nya serta Ridho-Nya….
Kesadaran….. Ya….. Kesadaran…….jadilah orang2 yang sadar akan kesadaran….. itulah orang yang mengenal akan Allah dengan sebenar2nya.
Wassalam
Pengembara jiwa
dicopy dari…. http://pengembarajiwa.wordpress.com/
#
bambang Says:
Januari 5, 2009 at 3:02 am
setelah membaca dan menelusuri situs ini saya tambah bingung
#
Aji Says:
Februari 16, 2009 at 4:30 am
Salam,
Sesungguhnya tidak akan mengenal akan tuhan dengan erti kata sebenar,melainkan ia memgenal dirinya sendiri terlebih dahulu memalaui kasih dan sayangNYA.
Wallahualam.
#
hinakelana414 Says:
Mei 11, 2009 at 6:54 am
Sang Syeikh bercerita…
“Pada masa lalu, seorang faqir pengelana tiba di sebuah oasis di sebuah gurun di barat. Dia seorang Qalandar (Sufi pengembara yang penyendiri) yang berkelana di gurun-gurun Afrika dan Arab selama bertahun-tahun. Dia mencari-cari tempat penyendirian agar bisa mengingat Tuhannya dan merenungi misteri-misteri-Nya. Amal, iman, dan kepasrahannya kepada Tuhan membuatnya dianugerahi kedamaian jiwa. Ketulusan dan ibadahnya di jalan Cinta sangatlah mendalam, sehingga hal-hal gaib tersingkap padanya, dan ia menjadi seorang Wali, Sahabat Allah.
Nah, faqir itu tiba di oasis pada malam hari. Ia segera merebahkan tubuhnya di bawah pohon kurma untuk beristirahat sejenak sebelum menunaikan shalat tahajud. Tapi, tanpa disadari, ada lelaki lain yang juga sedang beristirahat di dekat pohon itu.
“Tapi lelaki itu adalah penjahat tersohor, gembong dari sekelompok penjahat yang dahulu sangat ditakuti orang. Mereka dulu suka merampok kafilah-kafilah pedagang kaya yang bepergian melalui kota-kota di pedalaman. Tapi kekejaman para penjahat itu akhirnya sampai ke telinga sultan, dan karenanya ia memerintah prajuritnya untuk memburu dan membunuh gerombolan perampok itu. Banyak anggota perampok yang tertangkap dan dipancung kepalanya. Yang lainnya meninggalkan gembong penjahat itu. Sebagian lagi mengkhianatinya karena takut dihukum mati seperti kawan-kawannya yang lain.
“Akhirnya, pentolan penjahat itu sendirian. Hartanya ludes semua. Uangnya yang terakhir sudah habis dalam pelarian. Kini ia menjadi buronan nomor wahid. Kepalanya dihargai sangat mahal. Bahkan, mantan kawan-kawannya, kini tak mau lagi menolongnya. Mereka juga takut hasil jarahannya, kini tak mau lagi menolongnya. Mereka juga takut jika kemarahan Sultan menimpa diri mereka. Karena itulah penjahat ini melarikan diri berhari-hari melintasi gurun dan sampai di oasis tersebut dalam keadaan letih dan lapar. Ia duduk di bawah pohon dan merutuki nasibnya yang malang.
“Nah, sekarang aku bertanya kepada kalian, dari dua lelaki itu, mana yang lebih agung dan mana yang lebih rendah? Siapa yang diberkahi Allah dan siapa yang dilaknat-Nya? Jangan, jangan menjawab! Kalian tak akan tahu jawabannya, sebab kalian bukan hakim mereka. Hanya Sang Penciptalah yang berhak menghakimi ciptaan-Nya.
“Tapi, Malaikat Munkar dan Nakir, yang bertugas menanyai orang yang sudah meninggal, melihat keadaan dua orang itu. Kata Malaikat Munkar, “Di sini jelas tampak beda antara emas yang murni dan yang palsu. Dua orang ini sudah bisa dinilai mutu jiwanya, walau mereka belum mati. Allah akan mengangkat lelaki yang saleh dan setan akan menemani lelaki jahat itu.’
“‘Pasti demikian,’ kata Nakir setuju. ‘Emas sejati amatlah langka. Surga amatlah luas, dan neraka penuh api yang menyala-nyala hingga ke dasarnya.’
“Allah mendengar bersitan pikiran kedua malaikat-Nya itu. Dia lalu berbicara kepada hati dua malaikat itu: ‘Kalian telah menghakimi nasib mereka. Namun manusia akan celaka jika Aku menghakimi makhluk-Ku hanya dengan keadilan belaka. Bukankah Aku Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Saksikanlah! Aku akan mengunjungi mereka dalam tidur dan visi mereka, agar kalian tahu kebenaran sejati dari makhluk-Ku.’
“Lalu Allah menidurkan dua orang itu dan mengirimkan mimpi kepada si faqir dan penjahat tersebut. Qalandar yang alim itu bermimpi berada di dalam neraka, bahkan berada di dasar neraka yang paling dalam, dengan nyala api yang paling lebat dan hebat. Sedangkan pentolan penjahat itu berada di surga, berdiri bersama-sama para Wali Allah di hadapan singgasana-Nya.”
Syeikh meletakkan cangklingnya dan meminum tehnya. Matanya mengamati wajah-wajah kami.
“Apakah baik memasukkan orang jahat ke surga?” tanyanya. “Apakah adil memasukkan orang saleh ke neraka?”
Tak ada yang berani menjawab.
“Bagus!” katanya. “Membersihkan hati dari penghakiman akan membuka Jalan Cinta. Dan itulah pelajaran yang diterima oleh Malaikat Munkar dan Nakir.
“Sebab kedua malaikat itu menyaksikan si faqir yang saleh berada di tengah-tengah neraka, dan melihat orang yang sangat baik ini berdiri telanjang dengan api membakar dagingnya. Jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa membuat telinganya sakit. Tapi lelaki itu tidak merasakan kesakitan saat api neraka membakarnya, dan ia bahkan tak terkejut ataupun takut. Ia hanya memikirkan Sang Kekasih, dan penderitaan sehebat apa pun tak bisa mengalihkan perhatiannya kepada Allah. Ia lalu duduk diselimuti kobaran api yang panas dan menyesakkan. Dengan suara tenang dan keras Sufi itu mulai berzikir:
“Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!’
“Api itu menyala lebih hebat saat zikirnya menggelegar. Lalu api itu meredup, dan gunung-gunung api di neraka bergetar hebat mendengar zikirnya. Jiwa-jiwa lain yang disiksa di neraka berhenti menjerit dan memasang telinga lebar-lebar, karena nama Allah selama ini tak pernah diucapkan di neraka. Kemudian semua suara lenyap kecuali zikir itu. Lelaki itu terus berzikir sampai dasar dan fondasi neraka berguncang hebat, sedangkan para penghuni lain yang terkutuk di neraka mulai mendapatkan secercah harapan untuk bebas dari azab neraka.
“Neraka itu pasti akan runtuh berkeping-keping jika Iblis tidak muncul dan memohon kepada si faqir untuk menghentikan zikirnya. Tapi lelaki saleh itu terus saja berzikir, sebab ia sudah lama menapaki Jalan Cinta, dan kehendak Sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya, entah ia dimasukkan ke dalam surga atau neraka.”
Syeikh berhenti sejenak untuk mencecap tehnya. Ia tak memandang kami sebelum melanjutkan ceritanya.
“Dan bagaimana nasib penjahat itu?” tanyanya setelah gelas tehnya kosong. “Gembong penjahat yang dulu begitu ditakuti, dan kemudian tersia-sia dan menderita kini mendapatkan tempat yang begitu indah.
“Allah juga memperlihatkan keadaan penjahat itu kepada kedua malaikat-Nya. Mereka melihat penjahat itu berdiri dengan jubah panjang, gemetar di tengah-tengah penghuni surga di hadapan singgasana Allah Yang Mahakuasa. Dan Malaikat Jibril berbicara kepada lelaki itu:
“‘Dengan rahmat dan kasih Allah, Penciptamu, perbuatan burukmu telah dimaafkan,’ katanya. ‘Kini masuklah dengan damai.’
“Dan kini, kebenaran memasuki hati si penjahat itu. Ia amat takjub, air mata menetes dari matanya. Lalu ia menyaksikan keagungan dan keindahan Dzat Yang Maha Pengasih. Ia pun tersungkur dan menangis sejadi-jadinya.
“Dan Allah berfirman kepadanya: ‘wahai anak cucu Adam, janganlah takut. Sebab tiada satu pun yang terperosok ke dasar tanpa bisa kuangkat kembali ke permukaan.’
“Penjahat itu tak lagi jeri. Ia berlutut dan bersujud kepada-Nya sembari terus menangis. Air matanya mengalir tiada henti. Ia menyesali hidupnya yang kelam di masa lampau. Air matanya menjadi aliran rahmat yang tak bisa berhenti. Kaki Sang Wali yang tidur di sebelahnya basah oleh air matanya.
“Ia akan terus menangis kalau saja visi yang dihadirkan Allah itu tidak diakhiri. Kedua lelaki itu bangun mendadak. Kemudian sang penjahat melihat si faqir. Ia mendekati faqir itu sambil masih menangis. Si faqir yang mengetahui keadaannya lalu memeluknya. Mereka berdua melakukan shalat dan berdoa bersama sampai fajar mengembang. Akhirnya, penjahat itu menjadi murid si faqir. Demikianlah…
“Sementara itu, Malaikat Munkar dan Nakir, yang baru saja melihat setetes dari rahmat Allah yang tiada habisnya, bersujud di hadapan Tuhan. Mereka malu karena terburu-buru menghakimi. Penilaian Allah berada di luar pemahaman manusia dan malaikat.”
*********
Tak terasa air mata telah meleleri pipi. Tak kuasa menyaksikan ketulusan cinta sang faqir, tidak sembarang manusia yang mampu mencapai tingkatan cinta seperti itu. Keadaan seperti apa pun yang ia hadapi tidak sedikitpun memalingkan hatinya dari mengingat Sang Kekasih. Kehendak Sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya. Itulah Cinta Sejati, Cinta Agung yang tak akan pernah terjangkau oleh akal pikiran.
dicopy dari
http://surrender2god.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar